Intan Resika

Ruang Publikasi Karya Tulis Jurnalistik Pribadi

"Sebutir pelurumu yang menembus kepalaku hanya akan membunuhku.Tapi tulisan dan buah pikiranku akan menembus jutaan kepala orang" _Sayyid Qutb_
Diberdayakan oleh Blogger.

Momen Oreo 110th Birthday Celebration, Potret Camilan Biskuit Bisa Jadi Inspirasi Momen Keseruan Bersama Keluarga

Sumber foto: canva.com/edited


Opini Camilan biskuit merupakan makanan ringan yang menjadi santapan hampir semua orang. Sekilas, keberadaan camilan biskuit mungkin terlihat remeh dan tidak ada yang spesial.

Namun siapa sangka, konsep sebuah biskuit, keberadaaanya bisa begitu berharga, bahkan memiliki nilai yang cukup untuk bisa memberikan inspirasi momen keseruan bersama keluarga. Yah, itulah konsep biskuit yang bisa menggambarkan Oreo, salah satu biskuit yang sudah dinikmati keluarga di Indonesia sejak 1994.

Penulis pribadi pun merasakan nilai dari biskuit Oreo tersebut. Oreo kerap melengkapi momen traveling penulis bersama keluarga. Dalam lamanya perjalanan dari rumah menuju tempat tujuan, Oreo menjadi camilan yang penulis dan keluarga nikmati.

Cara keluarga penulis menyantap Oreo pun beragam. Ada yang hanya menikmati cream-nya saja, ada pula yang hanya menikmati biskuit hitam khas Oreo, serta ada pula yang menyantap keduanya.

Momen keseruan bersama keluarga saat menikmati Oreo, Selasa (16/08/2022). (Fotografer: Adip N. Aeini)

Kebiasaan tersebut membuat perjalanan penulis dan keluarga menjadi semakin seru. Karena si penyuka cream, akan meminta cream kesukaannya pada si penyuka biskuit hitam Oreo dan begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, seringkali gelak tawa dan sedikit kerusuhan kecil pun mewarnai perjalanan kami.

Rangkaian perayaan #WishOreo110

Komitmen Oreo untuk selalu memberikan inspirasi momen keseruan bersama keluarga memang tak pernah berhenti. Hal tersebut dibuktikan dengan rangkaian keseruan yang diciptakan Oreo di momen perayaan ulang tahunnya yang ke-110 pada tahun 2022 ini.

“Pada perayaan hari jadi yang ke-110 ini, kami ingin mengajak keluarga Indonesia turut merayakan keseruan #WishOreo110 dengan terus menghadirkan keseruan sepanjang tahun melalui berbagai inovasi dan kejutan dari rangkaian produk Oreo,“ ungkap Marketing Manager Oreo, Mondelez Indonesia Vega Gupta.

Salah satu keseruan yang dihadirkan adalah peluncuran produk baru varian spesial ulang tahun Oreo “Birthday Cake Flavor” dengan tampilan biskuit khas Oreo yang bertabur sprinkle warna-warni di dalamnya dan desain kemasan menarik.

Keseruan lainnya yaitu hadirnya fitur Augmented Reality (AR) yang bisa langsung didapatkan dengan cara memindai kode QR pada kemasan produk baru varian spesial ulang tahun Oreo “Birthday Cake Flavor” dan akan langsung terhubung pada fitur Instagram filter di laman akun instagram @oreo_indonesia untuk membuat tiap momen keluarga makin seru.

Selain itu, Oreo juga merayakan hari jadinya dengan berkolaborasi spesial bersama beberapa F&B merchant ternama, seperti Bitter Sweet by Najla.

Foto kemasan produk Oreo. (Fotografer: Intan Resika)

#UlangTahunOreo

Salah satu aktivitas seru yang dirasakan penulis dalam rangkaian keseruan perayaan #UlangTahunOreo ke 110 ini adalah ketika mencoba AR Instagram Filter Oreo. Penulis mencoba berkali-kali untuk bisa meniup 110 lilin dalam waktu yang cukup singkat sampai dipercobaan yang kesekian kali akhirnya berhasil dan spontan merasa senang.

Awalnya, penulis berpikir bahwa akan mudah saja meniup 110 lilin pada filter Oreo di Instagram. Ternyata setelah penulis mencoba, nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Tapi justru di situlah letak keseruannya. Penulis merasa seolah sedang meniup lilin yang ada di atas kue tart ulang tahun sungguhan. Sebab penulis harus menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk bisa meniup seluruh lilin tanpa tersisa.

Oreo memang paling bisa bikin momen keseruan yang membuat senyum penikmatnya merekah. 

Semoga di usia Oreo yang ke 110 tahun, segenap jajaran tim yang berperan dalam memproduksi Oreo sampai Oreo bisa dinikmati keluarga di Indonesia, diberikan keberkahan hidup. Selain itu, mudah-mudahan Oreo sebagai produk camilan biskuit pun mampu untuk terus berinovasi dan terus memberikan keseruan-keseruan yang menginspirasi bagi keluarga di seluruh penjuru dunia.

Penulis: Intan Resika


Mahasiswa, Jurnalistik dan Indonesia

Mahasiswa, Jurnalistik dan Indonesia

MacDougall dalam bukunya berjudul Interpretative Reporting menyebutkan bahwa, jurnalistik adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.

Menurutnya jurnalistik sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Maka dari itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang dalam formalitas kenegaraan bersifat demokratis, tentu sangat memerlukan para jurnalis. Untuk apa?

Dalam teori pers libertarian, pers dituntut untuk mengawasi pemerintah, sehingga pers disebut sebagai The Fourth Estate atau Pilar Kekuasaan Keempat setelah kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hingga saat ini, istilah tersebut begitu akrab di kalangan media massa hingga mahasiswa Jurnalistik. Walaupun sistem pers yang berlaku di Indonesia saat ini bukan sistem pers yang berlandaskan teori libertarian, namun istilah tersebut juga menjadi acuan media massa di Indonesia yang menerapkan sistem pers pancasila.

Fungsi pers yang bertanggungjawab, dikutip dari buku Jurnalistik: Teori dan Praktik karya Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, ada delapan poin. Pertama, fungsi informatif, yaitu memberikan informasi atau berita kepada khalayak ramai dengan cara yang teratur. Kedua, fungsi kontrol, masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan.

Ketiga, fungsi interpretatif dan direktif, yaitu memberikan interpretasi dan bimbingan. Keempat, fungsi menghibur. Kelima, fungsi regeneratif, menceriterakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini di jalankan sekarang, bagaimana sesuatu diselseikan, dan apa yang dianggap dunia itu benar atau salah.

Keenam, fungsi pengawalan hak-hak warga negara, yaitu mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi. Ketujuh, fungsi ekonomi, yaitu melayani sistem ekonomi melalui iklan. Kedelapan, fungsi swadaya, yaitu bahwa pers mempunyai kewajiban untuk memupuk kemampuannya sendiri agar ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang keuangan.

Poin terakhir inilah yang dewasa ini sedang dalam kondisi kritis. Padahal untuk bisa menjalankan fungsi lainnya secara tanggung jawab, maka point terakhir harus bisa terpenuhi. Sedangkan fenomena media massa masa kini, begitu erat kaitannya dengan istilah konglomerasi.

Dari ratusan media massa yang ada di seluruh Indonesia, sejatinya hanya dimiliki oleh segelintir orang. Hal itu disampaikan oleh Ketua Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Bandung, Adi Marsiela dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Jurnalistik UIN Bandung.

Ya, yang dikatakannya adalah fakta dan benar terjadi dalam realita. Akibat konglomerasi, independensi dan profesionalisme jurnalis menjadi terombang-ambing. Tertekan oleh para pemilik modal sebagai ‘bos’ pemilik media massa. Pemberitaan tak diarahkan untuk membangun bangsa dan negara, tapi untuk memenuhi kepentingan sang penguasa. Tak perlu disebutkan media mana yang berprilaku demikian, penulis yakin masyarakat cerdas mampu menilainya.

Namun dalam dunia perkuliahan jurnalistik, mahasiswa dibuat akrab dengan idealisme dan profesionalisme jurnalis. Dimana kode etik jurnalistik dijunjung tinggi, kepentingan publik diatas segala kepentingan, tidak ada keberpihakan, dan tujuan utama peliputan adalah mengungkap kebenaran.

Walaupun deskripsi media massa di luar sana sempat menjadi pertimbangan mahasiswa untuk terjun ke dunia jurnalistik, faktanya pers kampus masih memertahankan idealisme serta profesionalisme jurnalisnya, dengan tidak terpengaruh oleh fenomena-fenomena negatif tentang kejurnalistikan.

Peran mahasiswa jurnalistik untuk memajukan Indonesia
Mahasiswa jurnalistik yang serius dengan dunia kejurnalistikannya, banyak yang sudah mulai menapaki profesi jurnalis. Walaupun masih mengenyam bangku perkuliahan, umumnya mereka bergabung dalam pers kampus. Status jurnalis yang dimiliki mahasiswa setara dengan jurnalis-jurnalis mapan yang bekerja di media-media nasional sekalipun.

Namun idealisme dan profesionalisme jurnalis yang dimiliki mahasiswa jurnalis, bisa lebih besar dari pada para jurnalis nasional. Inilah yang unggul dari mahasiswa jurnalis. Mengapa? Sebab tak ada yang bisa menekan mahasiswa jurnalis, mereka bebas untuk melakukan kegiatan jurnalistiknya.

Masih dari Buku Jurnalistik karya Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Persepsi para jurnalis mengenai istilah profesional memiliki tiga arti. Pertama, profesional adalah kebalikan dari amatir. Kedua, setiap pekerjaan jurnalis menuntut pelatihan khusus. Ketiga, norma-norma yang mengatur perilakunya dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca.

Kemudian norma-norma tersebut diidentifikasikan pada dua norma. Pertama, norma teknis, dimana jurnalis harus menghimpun berita dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting kegiatan teknis jurnalis lainnya. Kedua, norma etis, dimana jurnalis memiliki kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggung jawab , sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif dan lain-lain yang semuanya harus tercermin dalam produk kepenulisannya.

Inilah salah satu langkah maju membangun media massa di Indonesia. mengangkat idealisme serta profesionalisme dalam dunia jurnalistik. Sehingga segala bentuk pemberitaan yang dibuat oleh mahasiswa jurnalis, bukan lagi untuk membodohi bangsa, tapi mencerdaskan.

Disiplin ilmu jurnalistik tentu bergerak lebih spesifik di media massa. Menilik peran media massa yang berpengaruh begitu besar terhadap kehidupan bengsa dan negara, maka dalam ranah inilah mahasiswa jurnalistik berperan memajukan Indonesia.

Saat status jurnalis tersemat pada diri seorang mahasiswa, tentunya ia tak bisa lepas dari perannya sebagai mahasiswa. Mahasiswa memiliki peran sebagai agent social of change, agent social of control, dan agent social of balance.

Jika aplikasi sebagai Agen perubahan atau agent social of change mahasiswa dalam lingkup pers dilakukan dengan menjunjung idealisme serta profesionalisme jurnalis, maka perubahan yang diangkat di lingkungan sekitar, baik lingkungan rumah, kampus, hingga masyarakat luas adalah dengan membuka pandangan masyarakat tentang kondisi media massa di Indonesia saat ini.

Karena itu, disini, mahasiswa jurnalis dapat bergerak melalui jalur pendidikan melek media. Itulah yang disebut literasi media. Sebelum negara maju, maka bangsanya harus maju terlebih dahulu.

Selama ini bangsa Indonesia sedang dibodohi oleh sistem kapitalis media massa. Televisi sebagai salah satu elemen media massa adalah yang sangat berpengaruh dalam tatanan hidup masyarakat. Mari kita tengok televisi Indonesia! konten program yang bersifat mendidik dikalahkan oleh konten program yang hanya bersifat menghibur. Hiburan, tak membuahkan kemajuan, yang muncul malah keterpurukan dalam title negara berkembang berpuluh-puluh tahun.

Dalam literasi media, masyarakat diajak untuk lebih selektif dalam menerima ide, gagasan serta pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa. Masyarakat dibimbing untuk menerima pesan media secara bijaksan dan tanggung jawab. Inilah langkah selanjutnya memajukan Indonesia. Menyentuh elemen terpenting suatu negara dengan membentuk pola pikir mereka ke arah yang maju. Siapa yang harus bergerak? Tentu mahasiswa.

Saat masyarakat mulai dekat dengan wacana negara maju dari sudut penerimaan pesan yang disampaikan media massa, maka langkah selanjutnya adalah mengikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam memajukan Indonesia. Kendati bukan hal yang mudah, namun jika ditekuni secara konsisten dan berkelanjutan, bukan tidak mungkin, bahwa bangsa Indonesia berubah ke arah bangsa yang maju. Jalannya, mengajak masyarakat untuk ikut bergerak mengembangkan eksistensi jurnalis idealis dan profesional.

Fenomena citizen journalist atau jurnalisme warga bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi lahan kemajuan bangsa Indonesia. Masyarakat memiliki ruang terbuka untuk melakukan kegiatan junalistik ‘yang tanpa tekanan’.

Walaupun profesionalitas jurnalisme warga, secara teknis tidak setara dengan jurnalis profesional, namun independensi laporan masyarakat bisa dipertaruhkan. Fenomena tersebut secara nyata membawa masyarakat lebih dekat pada fungsi pengawasan pergerakan pemerintah dan kontrol sosial.


Intan Resika




Profesionalisme Jurnalis Terhimpit ‘Kekuasaan di Ruang Redaksi’

Profesionalisme Jurnalis Terhimpit ‘Kekuasaan di Ruang Redaksi’

Persepsi para jurnalis mengenai istilah profesional memiliki tiga arti. Pertama, profesional adalah kebalikan dari amatir. Kedua, setiap pekerjaan jurnalis menuntut pelatihan khusus. Ketiga, norma-norma yang mengatur perilakunya dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca. 

Kemudian norma-norma tersebut diidentifikasikan pada dua norma. Pertama, norma teknis, dimana jurnalis harus menghimpun berita dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting kegiatan teknis jurnalis lainnya. Kedua, norma etis, dimana jurnalis memiliki kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggung jawab, sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif dan lain-lain yang semuanya harus tercermin dalam produk kepenulisannya. Dikutip dari buku Jurnalistik: Teori dan Praktik karya Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat.

Istilah profesionalisme jurnalis seringkali digaungkan dalam bangku perkuliahan. Seolah profesionalisme jurnalis menjadi suatu keharusan setiap individu jurnalis. Apapun kedudukannya, dari pemimpin redaksi, redaktur hingga wartawan atau reporter. Jika merujuk pada profesionalisme jurnalis yang disampaikan Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, maka seorang jurnalis dapat dikatakan profesional jika mereka tidak amatiran dalam melaksanakan tugasnya, memiliki keterampilan khusus, serta patuh pada norma-norma yang mengikat profesinya.

Namun sepertinya, profesionalisme masih menjadi hal langka dalam aplikasinya di dunia jurnalis. Fenomena wartawan amplop, wartawan ‘abring-abringan’ serta sederet istilah negatif lainnya masih menempel pada image seorang jurnalis. Kondisi seperti ini mencerminkan para jurnalis amatiran. Image negatif itu perlahan mengubur profesionalisme jurnalis. 

Tak hanya itu, wujud profesionalisme jurnalis juga terhimpit fenomena media massa masa kini. Konglomerasi. Pemilik modal sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu media massa. Tak masalah jika sang pemilik modal berjiwa profesional. 

Namun jika profesionalisme jurnalis bukan menjadi suatu keharusan bagi si pemilik modal, maka lambat laun produk jurnalistik pun akan tergerus dari sifat profesional. Sebab pemilik modal leluasa untuk mengutak-atik produk para jurnalis yang bernaung dibawah payung kekuasaannya. Padahal salah satu indikator jurnalis profesional adalah patuh pada norma-norma yang mengatur perilakunya, yang dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca, bukan pada penguasa. 

Secara nyata, kepentingan-kepentingan para penguasa media massa menjadi hantaman besar profesionalisme jurnalis. Norma etis, dimana jurnalis memiliki kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggung jawab , sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif dan lain-lain yang semuanya harus tercermin dalam produk kepenulisannya, menjadi tersisihkan. 

Kewajiban jurnalis bukan lagi pada pembaca, tapi pada ‘Bos’ yang menggajinya. Jurnalis dan produk jurnalistiknya adalah satu. Jurnalis sebagai raga dan produk jurnalistiknya sebagai nyawa. Jika sikap profesional hanya tumbuh pada raga dan tidak pada nyawa, maka profesionalisme jurnalis belum tercapai. Inilah fakta lapangan.

Sikap tidak memihak, merupakan point norma etis yang banyak dilabrak. Pasalnya, keberpihakan hampir merongrong sebagian besar pemilik modal. Jika penguasa tertinggi sudah bertindak, tak ada kata tidak. Jika ada yang membangkang, maka ia akan tersingkirkan. 

Bagai makan buah simalakama. Mungkin peribahasa ini mampu menggambarkan kegelisahan para jurnalis. satu sisi, mereka tertuntut untuk menjadi jurnalis profesional. Jika tidak, maka profesi sebagai jurnalis hanya sebatas nama. Sedangkan hati nurani tak henti meneriakan kebenaran. Sisi lainnya, profesionalisme jurnalis disampingkan, agar jurnalis bisa tetap bertahan, walaupun dalam tekanan. 

Kasus nyata menyoal terhimpitnya profesionalisme jurnalis terjadi pada sebuah suratkabar di Surabaya. Suratkabar tersebut dilapori tentang adanya isu penyimpangan dalam pembebasan tanah beserta pembayaran ganti ruginya kepada warga pemilik tanah oleh developer yang akan membangun komplek perumahan mewah. 

Kasus ini terjadi sekitar tahun 1991. Kasus tersebut melibatkan ratusan pemilik tanah dan menyangkut jumlah uang yang besar. Tetapi tatkala Redaktur Pelaksana (Redpel) mengusulkan untuk membentuk sebuah tim investigasi peliputan, dia diberitahu oleh pimpinan hariannya, bahwa kasus tersebut sebaiknya tidak perlu diberitakan. Alasannya, developer yang dikenal sebagai konglomerat nasional itu adalah pemasang iklan terbesar. 

Sampai tahun 1995, kasus tersebut belum pernah diungkapkan oleh satu suratkabar pun, baik oleh suratkabar-suratkabar di Surabaya sendiri maupun oleh suratkabar- suratkabar nasional. Kasus tersebut merupakan pengalaman Hikmat Kusumaningrat ketika menjadi Redaktur di Harian Surya, Surabaya, sebuah penerbitan pers yang didirikan oleh Kompas dan Pos Kota. Itulah sekilas gambaran akan ‘kekuasaan di ruang redaksi’.

Mungkin, kasus serupa banyak terjadi pada media massa lainnya. Hanya saja, sedikit pihak yang mau mengungkapnya ke permukaan. Tapi kasus diatas menjadi bukti betapa mahalnya profesionalisme jurnalis.

Solusi

Merenungi istilah “profesionalisme jurnalis”, sepertinya hanya ada dalam dunia ide belaka. Seperti yang diungkapkan Plato, pencetus paham idealisme, bahwa alam ide selalu menggambarkan kesempurnaan yang sulit dihadirkan di dunia nyata. Namun tak menutup kemungkinan, profesionalisme jurnalis hadir dalam realitas. 

Sejatinya, profesionalisme jurnalis masih bisa ditemukan dalam lingkup wartawan dan sebagian kecil di lingkup redaktur. Hanya saja, sikap profesionalisme mereka terkikis saat produk jurnalistiknya masuk ke meja redaksi. Campur tangan redaktur, pemimpin redaksi hingga pemilik modal, memungkinkan karya jurnalistiknya menjadi tidak profesional. tak menjadi masalah jika budaya seperti itu belum bisa terpatahkan. Sebab sebuah kebenaran yang terjebak dalam dinding kebohongan akan tetap keluar sebagai pemenang. 
 Cepat atau lambat.

Benih para wartawan yang masih memiliki jiwa profesional adalah langkah awal yang harus dipertahankan. Kedepannya, wartawan berpeluang besar menempati posisi redaktur dan pemimpin redaksi. Maka perlahan-lahan profesionalisme jurnalis akan merambat pada posisi jurnalis lainnya. 

Jika profesionalisme jurnalis bukan suatu keharusan bagi para pemilik modal, yang pada hakikatnya memiliki peran besar dalam dunia jurnalistik, maka persatuan jurnalis profesionallah yang bisa menggoyahkannya. Benihpun akan tumbuh menjadi pohon besar.

Solusi lainnya, jadilah sang pemilik modal yang berjiwa profesional. Tak bisa dipungkiri, pemilik modal memang memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Maka cukup mudah bagi pemilik modal yang berjiwa profesional untuk menjadikan jurnalis-jurnalis di bawahnya menjadi jurnalis profesional.

IntanResika                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     
Bahasa Jurnalistik, Bahasa Menyimpang

Bahasa Jurnalistik, Bahasa Menyimpang



“Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang menyimpang dari bahasa baku,” ungkap dosen UIN Bandung Romel dalam kuliah Jurnalistik Online dihadapan mahasiswa Jurnalistik 6 B, Kamis (28/04/16).

Bahasa menyimpang yang dimaksud, penghindaran penggunaan kata mubazir dalam bahasa jurnalistik. Dalam kaidah Bahasa jurnalistik, penggunaan kata mubadzir sangat tidak dianjurkan, meskipun menyimpang dari kaidah bahasa baku Indonesia. Hal itu menjadikan bahasa jurnalistik lebih efisien dan efektif dalam komunikasi media massa.

Kata mubadzir yang lazim digunakan seperti adalah, telah, bahwa, untuk, dari, bentuk jamak yang tidak perlu diulang dan pleonasme (berlebihan).

Romel menyampaikan, Para jurnalis dan media yang masih menggunakan kata mubadzir dianggap tidak mengenyam bangku kuliah jurnalistik.


Intan Resika.
Back To Top